Manusia sebagai mahluk sosial memiliki dimensi yang berbeda, baik
dalam beragama, bermasyarakat maupun bersoasialisasi. Keragaman adalah suatu
hal yang wajar dalam kehidupan bernegara, karena memang Negara yang mengadopsi
sistem demokrasi memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk memilih agama yang
akan dianutnya, baik itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu maupun Buddha.
Tampilkan postingan dengan label Kajian Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Aqidah. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 11 April 2015
Minggu, 22 Maret 2015
Menyingkap Tabir Permasalahan Hadiah Pahala Untuk Mayit
Seperti yang saat ini digembor – gemborkan didalam masyarakat tentang hokum memberikan hadiah pahala untuk mayyit , banyak muncul pertentangan tentang sampai atau tidaknya hadiah tersebut, mulai dari yang menganggap bahwa hadiah tersebut pasti sampai hingga yang berargumen bahwa hal tersebut sia – sia belaka
ILMU KALAM DAN ILMU FILSAFAT, Tanggapan Terhadap Kaum Wahabi
Sebagian
kaum Wahabi ada yang menerjemahkan ilmu kalam dalam pernyataan para ulama
dengan ilmu filsafat. Sepertinya kaum Wahabi memang tidak pernah membaca
kitab-kitab filsafat dan ilmu kalam, karena itu sikap mereka terhadap keduanya
kacau dan tidak ilmiah. Oleh karena itu, berikut tulisan kami beberapa tahun
yang lalu tentang perbedaan ilmu kalam dan ilmu filsafat.Tidak sedikit
di antara kalangan (terutama kaum Wahabi) yang berpandangan negatif terhadap
ilmu kalam yang menjadi wadah kajian akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Pandangan
negatif ini dilandasi oleh asumsi mereka bahwa ilmu kalam itu identik dengan
ilmu filsafat yang dianggap negatif oleh kalangan agamawan. Sehingga pada
gilirannya, anggapan negatif tersebut berlaku pula terhadap ilmu kalam. Untuk
menjernihkan persoalan ini, di sini kita perlu mempertanyakan, benarkah asumsi
bahwa ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat yang dinilai negatif oleh
kalangan agamawan?Sebenarnya anggapan negatif terhadap ilmu kalam, karena
alasan ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat Yunani yang ditolak oleh
kalangan agamawan,adalah berangkat dari ketidakfahaman terhadap hakikat ilmu
kalam serta perbedaannya dengan ilmu filsafat. Padahal apabila difahami dengan
benar, ilmu kalam itu berbeda dengan ilmu filsafat. Dengan pencermatan yang
agak seksama, akan ditemukan sekian banyak perbedaan antara ilmu tauhid atau
ilmukalam dengan ilmu filsafat yang ditolak oleh kalangan agamawan itu.
Perbedaan antara ilmu kalam dengan ilmu filsafat tersebut meliputi metodologi
(manhaj), karakter penelitian, objek dan tujuan.Pertama, dari segi metodologi.
Kalau diamati dengan seksama, para filosof membicarakan eksistensi Allah, para
Malaikat dan lain-lainnya hanya berlandaskan pada pemikiran dan rasio. Mereka
menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa mempertimbangkan
prinsip-prinsip yang dibawa oleh para nabi. Mereka tidak mengikatkan dirinya
dengan upaya rekonsiliasi antara teori rasional dengan prinsip-prinsip yang
dibawa oleh para nabi. Demikian ini berbeda dengan para ulama tauhid atau ahli
ilmu kalam yang membicarakan hal-hal tersebut dalam konteks menjadikan akal
sebagai satu-satunya perangkat untuk membuktikan kebenaran ajaran yang datang
dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para nabi. Menurut ulama tauhid akal
adalah sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan
sebagai fondasi atau titik tolak bagi keyakinan dalam beragama.Kedua, dari segi objek (maudhu’). Kalau
kita amati objek yang menjadi materi kajian ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah
meliputi akidah-akidah yang diterima dari syari’ah. Dalam pandangan ahli kalam,
ajaran-ajaran yang diterima dari syari’ah itu dianggap sebagai sesuatu yang
aksioma yang menjadi titik permulaan kajiannya. Hal ini berbeda dengan para
filosof, di mana mereka tidak memulai kajiannyadari hal-hal aksioma, karena
dalam asumsi mereka kebenaran itu masih misterius dan belum diketahui secara
pasti ketika kajian mereka mulai. Karenanya para filosof membuat perangkat-perangkat
rasional untuk menelusuri dan mencari kebenaran dan tempat kebenaran tersebut
berada. Hal ini berbeda dengan seorang ahli ilmu kalam. Ia membuat perangkat
yang sama untuk membuktikan kebenaran prinsip yang telah ada padanya yaitu
akidah-akidah yang dibawa oleh agama.Ketiga, dari segi tujuan. Bila kita
perhatikan tujuan bidang studi ilmu kalam, akan kita dapati bahwa seorang ahli
ilmu kalam memiliki tujuan yang konkrit, yaitu bertujuan memperkokoh dan
memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Hal ini berbeda dengan
seorang filosof yang memiliki tujuan yang masih belum jelas, yaitu mencari
kebenaran seperti apa pun bentuknya. Perbedaan antara kedua tujuan ini jelas sekali.Dari pemaparan
di atas, kiranya dapat mengantarkankita pada kesimpulan, bahwa ilmu kalam
berbeda dengan ilmu filsafat, dan perbedaan tersebut melahirkan hukum yang
berbeda pula bagi keduanya. Ilmu kalam diajarkan oleh para ulama, sementara
ilmu filsafat ditolak oleh mereka.(Ali Abdul Fattah al-Maghribi, al-Firaq al-Kalamiyyah
al-Islamiyyah Madkhal wa Dirasah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1995, hlm. 114.).
Bahaya Keserampangan dalam Memvonis Kafir
Banyak manusia yang salah dalam pemahaman hakikat dari sebab –
sebab yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir, dimana golongan – golongan
tersebut sangat mudah sekali memvonis seseorang menjadi kafir hanya karena
perbedaan sepele yang bahkan tidak masuk dalam ruang lingkup, sehingga seakan –
akan di dunia ini tidak tersisa umat islam kecuali dia, sedangkan golongan
lainnya seakan celaka dan tidak mendapatkan rahmat dari Allah SWT.
Tentu saja hal tersebut merupakan
kesalahn yang fatal, karena syari’at menunjukkan ke haraman menjustifikasi
seorang menjadi kafir jika orang tersebut masih melaksanakan sholat, menegakkan
kewajiban-kewajiban, menjahui larangan, menghidupi masjid dan amal ibadah
lainnya. Sehingga akan sangat bahaya jika kita dengan mudahnya serampangan
memvonis seseorang menja di kafir seperti telah tertuang dalam hadist
Rasulullah S.A.W :
" إذا قال الرجل لأخيه : يا كافر فقد
باء بها احد هما "
“Apabila seseorang
muslim mengatakan kepada saudara muslimnya ”Hai kafir ‘ maka telah kafir
salah satu di antara mereka .”
Berkata Al-Alim Sayyid Ahmad Masyhur Al- Haddad :
“ Para ulama’ telah bersepakat tentang keharaman menjustifikasi
kafir orang – orang ahli kiblat. Kecuali bagi mereka yang menyaksikan kekuasaan
Allah SWT, melakuakan perbuatan syirik yang tak bisa di toleransi, mengingkari
kenabiaan, menganggap nabi Muhammad SAW bukan nabi yang terakhir dan
mengingkari hal – hal syari’at yang sudah jelas dalil – dalilnya (Seperti mengingkari
kewajiban sholat)”.
Sehingga jika keserampangan dan asal
– asalan dalam mengkafirkan seseorang ini terus berlanjut maka perpecahan –
perpecahan tidak akan bisa terhindarkan, karena masing – masing kelompok
mengaggap bahwa kelompoknya masing – masinglah yang benar dan lurus, sedangkan
yang lainya sesat dan kafir . Dan ini semua tentu menciderai usaha nabi yang
dari dulu berusaha untuk mengislamkan umat manusia seluruhnya, tetapi saat ini
malah dengan mudahnya kita keluarkan umat – umat Nabi Muhammad SAW hanya karena
perbedaan remeh ataupun demi terwujudnya kepentingan – kepentingan dan ambisi –
ambisi terselubung masalah diniawiyah.
Maka sudah menjadi aksioma, bahwa
sebagai sesame muslim tidak boleh untuk saling mengkafirkan satu sama lain, dan
mudah – mudahan kita selalu di naungi ridho dan ‘inayahNya agar selamat dari
fitnah – fitnah mereka dan fitnah – fitnah akhir zaman.
Penulis
: M.Ilham Bayhaqi (Presiden BEM INI DALWA)